Berita  

Renovasi Pasar Makale Disoal: Pedagang Tersingkir, Relokasi Tak Disiapkan

LANSKAPSULAWESI.COM – TANA TORAJA, Rencana renovasi Pasar Makale oleh Pemerintah Kabupaten Tana Toraja memicu gelombang keresahan dari pedagang makanan. Surat edaran yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah kepada 72 pedagang untuk segera mengosongkan lapak dinilai sepihak dan tanpa solusi. Gabungan aktivis dari berbagai organisasi kemahasiswaan dan lembaga adat turun ke jalan menyuarakan penolakan atas kebijakan tersebut karena dianggap merugikan pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dari aktivitas di pasar.

Aksi demonstrasi yang berlangsung di depan Gedung DPRD Tana Toraja diwarnai orasi-orasi keras dari massa yang menamakan diri sebagai Aliansi Masyarakat Pasar Makale. Mereka terdiri dari unsur mahasiswa FORMAT, IPSIM, PMKRI, SAPMA, hingga Lembaga Adat Toraja (LAT). Dalam aksi tersebut, Theofilus Paturerung sebagai Jenderal Lapangan dengan tegas menyuarakan ketidakadilan yang dialami para pedagang. “Kita bersyukur ada niat merenovasi pasar, tetapi di mana letak keadilannya jika pedagang dipaksa hengkang tanpa ada relokasi? Mereka butuh makan, mereka harus tetap berjualan,” serunya.

Wakil Ketua DPRD Tana Toraja, Leo Tallu Padang, yang juga menjabat sebagai Koordinator Himpunan Pengusaha Warung Makan Pasar Makale, mengaku kecewa dengan cara pemerintah menangani persoalan itu. Ia menyebut bahwa tidak ada sosialisasi yang dilakukan sebelumnya, dan tiba-tiba muncul surat edaran yang dianggapnya lebih bernada intimidatif ketimbang ajakan berdialog. “Selama ini surat edaran selalu dari bupati. Baru kali ini saya lihat kop surat dari wakil bupati, lucunya surat bersifat edaran namun isinya seperti pemaksaan,” ujarnya dengan nada kesal.

Yang menjadi salah satu keresahan pemilik warung makan di pasar makale adalah soal pembatasan jam operasional warung makan pada pukul 08.00 Wita yang dinilai menghambat kelangsungan usaha pedagang kecil. “Bukan hanya soal tempat, tapi juga soal penghidupan. Kalau jam dibatasi, bagaimana mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup?” tegas Leo.

Leo melalui RDP berniat mengajukan pembatasan jam operasional warung jika bisa di jam 11.00 wita, namun aspirasi yang sedianya dibawa dalam RDP itu kalah cepat dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh Wakil Bupati Tana Toraja. Leo, menekankan pentingnya pemerintah bersikap lebih terbuka dan tidak membuat kebijakan yang terkesan sepihak, apalagi tanpa ruang partisipasi publik.

Dalam tuntutan yang dibawa oleh aliansi, ada tiga poin utama: pertama, meminta adanya relokasi sebelum dilakukan renovasi pasar; kedua, memastikan seluruh pedagang yang selama ini berjualan di Pasar Makale tetap mendapat hak tempat berjualan pasca renovasi; dan ketiga, mendesak pemerintah agar segera membuat regulasi tata kelola pasar yang jelas dan adil.

Situasi memanasnya pasar makale oleh sejumlah pihak dinilai menggambarkan lemahnya komunikasi pemerintah dalam menjalankan program pembangunan. Di satu sisi, renovasi pasar merupakan langkah positif. Namun di sisi lain, tanpa perencanaan yang berpihak pada masyarakat terdampak, kebijakan ini justru melukai rasa keadilan sosial. Aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi menjadi pengingat bahwa pembangunan sejatinya harus berpijak pada prinsip musyawarah, keterbukaan, dan keberpihakan pada masyarakat kecil.

Penulis: JefriEditor: Hajar Aswad