Solusi Penerapan Teknologi Untuk Penambangan Raja Ampat

LANSKAPSULAWESI.COMJakarta, Raja Ampat, kepulauan di Papua Barat yang dikenal sebagai salah satu pusat biodiversitas laut terkaya di dunia, kini menghadapi ancaman serius akibat aktivitas penambangan. Kekayaan mineral di wilayah ini telah menarik perhatian perusahaan tambang, namun praktik pengelolaan limbah yang kurang memadai, khususnya tailing, memicu kerusakan lingkungan yang signifikan. Tailing, limbah berbahaya dan beracun (B3) tingkat 2 dari proses pengolahan bijih tambang, menjadi salah satu penyebab utama degradasi ekosistem di kawasan ini.

Tailing merupakan sisa material berupa lumpur atau pasir halus yang mengandung bahan kimia berbahaya, seperti merkuri dan sianida, yang digunakan dalam ekstraksi mineral. Menurut peraturan pemerintah, tailing harus dinetralkan, disaring, dan dipadatkan sebelum disimpan di fasilitas khusus bernama Dry Stack Tailings Facility (DSTF). Namun, di Raja Ampat, laporan masyarakat setempat mengindikasikan bahwa beberapa perusahaan tambang tidak mematuhi standar ini, membuang tailing tanpa pengolahan memadai ke sungai atau laut, yang merusak terumbu karang dan biota laut.

DSTF seharusnya menjadi solusi untuk mengurangi dampak lingkungan dari tailing. Fasilitas ini dirancang untuk menyimpan tailing kering di area bekas tambang, dengan pemantauan rutin yang mencakup uji toksisitas, kualitas air, dan stabilitas fasilitas. Sayangnya, di Raja Ampat, banyak DSTF yang tidak memenuhi standar teknis, seperti kedap air yang buruk atau lokasi yang rentan longsor. Hal ini meningkatkan risiko kebocoran limbah B3 ke lingkungan sekitar, termasuk ke kawasan hutan dan perairan.

Menurut Johnny Sumbung Ketua Satuan Gugus Khusus Bencana HAKLI yang juga mantan direktur Mitigasi BNPB melihat antisipasi risk management potensi bencana memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan berbasis data untuk meminimalkan dampak kerusakan lingkungan dan sosial, termasuk di wilayah seperti Raja Ampat yang rentan akibat aktivitas penambangan.

Teknologi Dry Stack Tailings (DST) sebenarnya menawarkan banyak manfaat. Selain mengurangi risiko longsor dan erosi, DST juga mendukung konservasi air, yang sangat penting di wilayah seperti Raja Ampat yang bergantung pada ekosistem laut. Di tingkat global, DST semakin populer karena dianggap lebih aman dan ramah lingkungan dibandingkan metode penimbunan tailing basah. Namun, tanpa komitmen perusahaan tambang untuk mengimplementasikan teknologi ini dengan benar, manfaatnya tidak akan tercapai.

Pengelolaan limbah B3 di kawasan hutan, seperti di Raja Ampat, diatur oleh sejumlah peraturan, termasuk Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 6 Tahun 2021 dan Nomor 9 Tahun 2024. Regulasi ini mewajibkan perusahaan untuk mengurangi, menangani, dan memanfaatkan limbah B3 secara bertanggung jawab. Namun, pengawasan yang lemah dari pemerintah daerah dan pusat sering kali membuat aturan ini hanya menjadi formalitas, sementara pelanggaran terus terjadi.

Pemerintah daerah Raja Ampat telah berupaya menangani masalah ini dengan memperketat izin tambang dan melakukan inspeksi rutin ke lokasi penambangan. Namun, tantangan seperti keterbatasan sumber daya manusia dan anggaran sering kali menghambat efektivitas pengawasan. Selain itu, beberapa perusahaan tambang diketahui memiliki koneksi politik yang kuat, yang mempersulit penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan.

Komunitas internasional juga mulai memberikan perhatian terhadap krisis lingkungan di Raja Ampat. Organisasi lingkungan global menyerukan moratorium penambangan di wilayah ini untuk melindungi keanekaragaman hayati yang unik. UNESCO, yang telah menetapkan Raja Ampat sebagai bagian dari Warisan Dunia, juga memperingatkan bahwa kerusakan lingkungan dapat mengancam status kawasan ini sebagai situs warisan dunia.

Masyarakat sipil di Raja Ampat, termasuk kelompok adat dan aktivis lingkungan, terus memperjuangkan perlindungan wilayah mereka. Mereka menuntut transparansi dalam pengelolaan limbah tambang dan partisipasi yang lebih besar dalam pengambilan keputusan terkait aktivitas penambangan. Aksi protes dan kampanye daring telah berhasil menarik perhatian media nasional, mendorong pemerintah untuk lebih serius menangani masalah ini.

Untuk mengatasi krisis ini, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan tambang, dan masyarakat lokal menjadi kunci. Perusahaan harus diwajibkan untuk mengadopsi teknologi DST secara penuh dan mematuhi standar pengelolaan limbah B3. Pemerintah perlu meningkatkan kapasitas pengawasan dan menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelaku pelanggaran. Sementara itu, masyarakat harus diberdayakan melalui edukasi tentang hak lingkungan mereka.

Raja Ampat adalah harta karun alam yang tidak ternilai. Keindahan lautnya, yang menyimpan ribuan spesies ikan dan terumbu karang, adalah warisan dunia yang harus dilindungi. Jika penambangan terus dilakukan tanpa pengelolaan yang bertanggung jawab, surga biodiversitas ini berisiko hilang selamanya. Tindakan segera diperlukan untuk memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.

Melalui langkah konkret, seperti penegakan regulasi, adopsi teknologi ramah lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat, Raja Ampat masih memiliki harapan untuk pulih. Namun, waktu terus berjalan, dan setiap hari tanpa tindakan nyata membawa kawasan ini semakin dekat pada kerusakan permanen. Dunia menanti komitmen nyata untuk menyelamatkan Raja Ampat dari ancaman penambangan yang tidak berkelanjutan.

Editor: Hajar Aswad