Berita  

LAT Soroti Tindakan Pembongkaran Paksa di Se’pon: Tidak Etis dan Tidak Berkemanusiaan

LANSKAPSULAWESI.CON – Tana Toraja, 20 Juli 2025 – Polemik kepemilikan tanah di kawasan Hotel Andalan, Jln. Poros Makale–Rantepao, Se’pon, Kelurahan Lapandan, Kecamatan Makale, terus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Kali ini, pernyataan datang dari perwakilan Lembaga Adat Toraja (LAT) yang menyesalkan tindakan aparat Satpol PP Pemkab Tana Toraja dalam melakukan pembongkaran paksa terhadap lapak (gardu) milik warga setempat.

Perwakilan LAT berinisial JP, menyampaikan bahwa tindakan tersebut mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan tidak mencerminkan semangat etika budaya Toraja yang menjunjung tinggi musyawarah dan penghormatan terhadap hak milik.

Sebagai perwakilan dari Lembaga Adat Toraja, saya sangat sedih dan prihatin atas tindakan tidak beretika dan tidak berkemanusiaan ini. Pembongkaran lapak secara paksa tanpa musyawarah adalah bentuk pelecehan terhadap adat dan martabat masyarakat Toraja,ujar JP.

Gardu yang dibongkar diketahui sebagian milik Om Lintin dan sebagian lainnya milik keluarganya. Keluarga menyatakan keberatan atas klaim Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan yang menyatakan bahwa lahan tersebut merupakan milik Pemprov. Pihak keluarga telah melakukan penelusuran data terkait sertifikat tanah Hotel Batupapan (kini dikenal sebagai Hotel Andalan) dan menemukan bahwa tidak ada sertifikat atas nama Pemprov Tingkat I Sulawesi Selatan yang terbit tahun 1991, sebagaimana yang diklaim.

Selain keluarga Om Lintin, keluarga Elisabeth Bu’tu juga menjadi pihak yang terdampak atas polemik lahan ini. Lahan milik keluarga Elisabeth bahkan sempat akan dibongkar namun batal karena adanya penolakan langsung dari pihak keluarga di lokasi.

LAT menilai bahwa persoalan ini tidak hanya soal tumpang tindih klaim, tetapi menyangkut prinsip keadilan dan penghargaan terhadap hak milik masyarakat adat. LAT mendesak agar semua pihak, khususnya pemerintah dan aparat, mengedepankan pendekatan humanis dan dialogis, serta tidak gegabah dalam mengambil tindakan sepihak yang dapat memicu konflik horizontal.

LAT juga meminta Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tana Toraja untuk bersikap transparan dan segera mengklarifikasi status hukum kepemilikan lahan tersebut. Masyarakat berhak mendapatkan kejelasan hukum, bukan intimidasi.