DPC GAMKI URAI TREND DATA SWING VOTERS DI TANA TORAJA BERDAMPAK BURUK BAGI DEMOKRASI

Sumartoyo, S.Pd., M.Si.: "Swing Voters lebih banyak dari kalangan zilenial"

LANSKAPSULAWESI.COM – TANA TORAJA, Fenomena swing voters yang angkanya masih cukup besar di Tana Toraja menimbulkan tanda tanya tentang bagaimana sesungguhnya daya tarik elektoral para Caleg Dapil 3 yang bertarung dalam meraih simpati masyarakat Tana Toraja.

Lembaga Survei resmi Visi Indonesia yang berkantor di Jakarta selama 5 bulan terakhir melakukan kajian terhadap tingkat elektoral Caleg Dapil 3 terkhusus bagi pemilih yang ada di Tana Toraja. Saparuddin Santa Direktur Eksekutif Lembaga Survei Visi Indonesia menjelaskan, “Tana Toraja menyumbangkan 16,7% Swing Voters dari total 196.548 DPT,  atau sebanyak 31.447 pemilih belum memiliki pilihan untuk Caleg DPR RI.”

Fenomena tersebut melukiskan daya tarik dan sosialisasi Caleg Dapil 3 terutama Caleg yang berasal dari Tana Toraja belum terlalu dikenal dan tidak merata di kalangan swing voters. Kondisi ini pula mencerminkan bahwa pendidikan politik belum sepenuhnya menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Sangat disayangkan jumlah swing voters yang cukup besar itu berpotensi menimbulkan politik transaksional di kalangan pemilih yang tidak teredukasi dengan baik. Para caleg yang bermodal besar dapat berbelanja suara demi menambah pemerolehan suara, sekaligus mengkapitalisasikan politik sebagai barang dagangan yang tidak lebih seperti sembako.

Trend data swing voters terhadap Caleg Dapil 3 dari LSE Visi Indonesia menunjukkan ada kelompok-kelompok pemilih berdasarkan usia yang tidak tertarik dengan manfaat dan tujuan berdemokrasi. Bidang Kajian Politik dan Kebijakan Publik DPC GAMKI Tana Toraja melakukan kajian internalnya terhadap trend data yang bersumber dari kajian Visi Indonesia. Dari  jumlah swing voters 31.447  orang di Tana Toraja untuk Kelompok usia 17 – 23 tahun memiliki persentase swing voters yang paling tinggi sekitar 40 persen. Kelompok usia 24 – 35  tahun memiliki persentase swing voters yang sedang, sekitar 20 persen. Sedangkan kelompok usia 36 – 60  tahun memiliki persentase swing voters yang paling rendah, sekitar 10 persen.

Menelisik data di atas, Bidang Kajian Politik dan Kebijakan Publik DPC GAMKI mengurai beberapa faktor yang mempengaruhi para swing voter dalam mengambil keputusan yaitu:

  • Isu-isu hangat yang seharusnya ditabur para Caleg Dapil 3 sebagai strategi kampanye tidak sejalan dengan pandangan para swing voters yang cenderung mempertimbangkan isu-isu yang sedang berkembang dan relevan dengan kepentingan mereka, seperti teknologi, ekonomi, kesehatan, lingkungan, pendidikan, atau keamanan. Mereka akan memilih calon yang mampu menawarkan solusi ketimbang citra diri.
  • Swing voters menilai kinerja pemerintah sebagai eksekutif  yang berkuasa terkait erat dengan kinerja anggota legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah. Mereka memiliki ketertarikan pada rekam jejak atau model caleg yang dianggap mampu berkontribusi bagi pembangunan, terutama pada pelayanan publik.
  • Visi dan misi tetap dijadikan dasar bagi para swing voters untuk membandingkan caleg yang satu dengan caleg yang lain. Para zilenial suka membandingkan persepsi mereka terhadap sesorang. Mereka lebih suka kepada calon dengan visi, misi, dan cara pandang caleg terhadap mereka yang lebih masuk akal dan dapat direalisasikan dengan cepat.
  • Swing voters memilih bermasa bodoh, adalah kelompok yang sama sekali tidak peduli dengan figure yang berkompetisi. Kelompok ini jumlahnya dominan besar dan memiliki sikap apatis, latar belakang ekonomi dan sosial berperan penting dalam pengambilan keputusan.

Selanjutnya dari gambaran umum di atas, diuraikan lebih spesifik faktor penyebab para swing voter berdasarkan kelompok umur itu enggan membuat keputusan terhadap Caleg Dapil 3:

  • Kelompok usia 17-23 tahun. Kelompok usia ini memiliki persentase swing voters yang paling tinggi, sekitar 40 persen. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: mereka adalah pemilih pemula yang belum memiliki pengalaman dan preferensi politik yang kuat; cenderung kritis, kreatif, dan inovatif, sehingga mereka mendambakan figur calon yang mampu memenuhi aspirasi dan harapan mereka; selain itu mereka cenderung terpapar dengan informasi dan opini yang beragam sehingga membutuhkan figus yang dapat memberikan fakta dan data yang akurat, serta memahami gaya hidup mereka yang kompleks.
  • Kelompok usia 24-35 tahun. Kelompok usia ini memiliki persentase swing voters yang sedang, sekitar 20 persen. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: kelompok ini disebut sebagai generasi Y atau milenial yang lebih terlihat aktif, produktif dan kompetitif, mereka membutuhkan calon yang bisa memberikan peluang dan fasilitas untuk berkembang; generasi ini memiliki tanggung jawab dan keterikatan sosial seperti keluarga, pekerjaan dan komunitas, sehingga  mereka pun lebih menyukai calon yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan sosial; selain itu generasi ini mulai memiliki kesadaran politik dan keterlibatan dalam proses demokrasi seperti menjadi relawan, pengawas, atau mampu sebagai penyelenggara pemilu. Mereka membutuhkan pemimpin yang lebih transparan dan kemampuan akuntabilitas yang tinggi.
  • Kelompok usia 36-60 tahun. Kelompok usia ini memiliki persentase swing voters yang paling rendah, sekitar 10 persen. Hal ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: mereka adalah generasi X atau baby boomers yang lebih bersikap konservatif, loyal, dan stabil; mereka membutuhkan figur yang mampu memberikan kontinuitas dan kepastian politik yang kuat berdasarkan keyakinan, ideologi, dan suka dengan figur yang representatif dan memiliki identitas politik yang jelas, terlebih kepada figur yang dianggap matang dalam memberikan integritas dan moralitas politik.

GAMKI melihat fenomena swing voter berdampak buruk bagi perkembangan demokrasi di Tana Toraja dalam 10 tahun ke depan. Ketidakpercayaan dan ketidakpastian terhadap demokrasi adalah ancaman demografi yang harus diatasi sejak dini. Selain mereka dapat dibeli seperti sembako, pendidikan yang buruk tentang demokrasi akan menelantarkan mereka dalam proses pembodohan yang terstruktur rapi dan tersistematis untuk kepentingan-kepentingan segelintir orang dan kelompok.

Masyarakat yang enggan berdemokrasi juga dapat diandaikan sebagai sapi perah dalam rangkaian demokrasi yang dinamis. Golongan skeptisme ini merasa tidak perlu memiliki kewajiban terhadap negara. Mereka mudah dimanipulasi dalam sistim hukum yang dikuasai orang-orang tidak bermoral. Dalam sistim hukum yang kompleks dan rumit mereka memilih mencari aman dan lebih baik menurut seperti sapi daripada melawan dan mati sia-sia.

Editor: Hajar Aswad