Elemen Pemuda Toraja Berkumpul Gelorakan Semangat Frans Karangan Dalam Momen Peringatan 31 tahun Wafatnya Sang Pejuang

LANSKAPSULAWESI.COM – Toraja Utara, Senin, 23 Juni 2024, bertempat di Taman Makam Pahlawan Buntu Lepong, Toraja Utara, Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja menginisiasi peringatan 31 tahun wafatnya Brigjen TNI Frans Karangan. Acara ini dihadiri sejumlah organisasi kepemudaan (OKP) dan kelompok Cipayung yang eksis di Bumi Lakipadada, antara lain PMKRI, GMKI, GMNI, serta Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia. Turut hadir pula Wakil Bupati Toraja Utara, Andrew Silambi’.

Peringatan dimulai tepat pukul 17.00 WITA, diawali dengan menyanyikan lagu kebangsaan, hening cipta, dan refleksi perjuangan Frans Karangan. Beliau dikenal sebagai pahlawan yang berjasa besar bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), khususnya dalam mempertahankan Toraja dari berbagai penindasan yang dilakukan oleh gerombolan DI/TII serta pasukan Batalyon 720 di bawah pimpinan Kapten Andi Sose. Dalam catatan sejarah, pasukan tersebut bertindak semena-mena terhadap masyarakat Toraja saat bertugas di Tana Toraja.

Refleksi perjuangan Frans Karangan disampaikan oleh Yulianus Lombe, salah satu anggota Dewan Pakar Pemuda Katolik Komcab Tana Toraja. Mengutip buku Komandan Frans Karangan karya Sili Suli, Yulianus menguraikan peran heroik Frans Karangan yang tidak rela melihat penderitaan masyarakat Toraja akibat penindasan dan perlakuan sewenang-wenang dari pasukan Batalyon 720 pimpinan Kapten Andi Sose. Sebagai komandan Kompi II dalam batalyon tersebut, Frans Karangan berani melawan atasannya demi kepentingan rakyat Toraja, sebuah bukti integritas moral yang patut diteladani oleh pemimpin Toraja masa kini.

Ketika Frans Karangan menyaksikan penderitaan masyarakat Toraja, ia bersama sejumlah elemen masyarakat memimpin perlawanan. Pada tahun 1953, ia memimpin pasukannya menyerang markas Batalyon 720 di Makale, sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Peristiwa Makale 1953. Peristiwa ini menelan banyak korban jiwa, namun berhasil memaksa pasukan Andi Sose meninggalkan Toraja.

Pada tahun 1958, badai besar kembali melanda Toraja. Setelah Batalyon 514 Brawijaya ditarik dari Toraja untuk menumpas Permesta di wilayah lain, pasukan gabungan Komando Daerah Militer Sulawesi Selatan Tenggara (KDM-SST) menggantikannya. Pasukan ini diduga ditunggangi pihak tertentu untuk membalas dendam atas Peristiwa Makale 1953. Mereka menyebarkan narasi bahwa kedatangan mereka bertujuan menghancurkan pendukung Permesta di Tana Toraja, padahal pimpinan masyarakat Toraja telah menyatakan kesetiaan kepada NKRI di hadapan Presiden Soekarno di Istana Negara, Jakarta.

Kekhawatiran masyarakat Toraja terbukti. Pada 15 Mei 1958, pasukan KDM-SST melakukan intimidasi di warung-warung makan di pinggir pasar Makale dan kota Rantepao. Puncaknya, pada 19 Mei 1958, saat hari pasar di Makale, Detasemen A melepaskan tembakan yang menyebabkan kepanikan di kalangan masyarakat. Teror dan intimidasi terus berlanjut, membuat masyarakat semakin resah dan menderita.

Semangat perlawanan kembali berkobar melalui Barisan Komando Rakyat dan Organisasi Pagar Desa yang dibentuk dan dilatih oleh Frans Karangan sebelum ia meninggalkan Toraja. Saat itu, Frans Karangan sedang bertugas di Palu untuk menumpas Permesta. Mendengar kabar gejolak di Toraja, ia mengirimkan pasukan terbaiknya dari Palu dengan alasan cuti untuk memimpin perlawanan terhadap pasukan penindas.

Dengan strategi matang, pasukan terbaik Frans Karangan bersama Barisan Komando Rakyat dan ratusan anggota Organisasi Pagar Desa melakukan perlawanan heroik. Meski banyak korban jiwa, rumah dibakar, dan harta dijarah, perlawanan ini berhasil melumpuhkan pasukan penindas dan mengusir mereka dari Toraja. Mayat-mayat pasukan penindas bergelimpangan di jalanan, sementara sisanya melarikan diri. Kisah lengkap perjuangan ini dapat dibaca dalam buku Komandan Frans Karangan karya Sili Suli.

Yulianus Lombe menegaskan bahwa kisah ini adalah bagian dari sejarah Toraja dalam memperjuangkan dan mempertahankan eksistensinya sebagai suku bangsa dengan nilai adat, budaya, dan kepercayaan yang tetap eksis hingga kini. Penderitaan, pengorbanan, dan keberanian heroik dalam melawan penindasan telah menjadikan Toraja tetap berdiri sebagai entitas budaya. Tanpa perjuangan para pendahulu seperti Frans Karangan, Toraja mungkin hanya tinggal nama dan kenangan.

Mengutip Presiden Soekarno, “Jangan melupakan sejarah, karena bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya,” Yulianus menegaskan bahwa peringatan 31 tahun wafatnya Frans Karangan adalah momentum penting untuk menggelorakan semangat perjuangannya, khususnya bagi generasi muda Toraja, agar menjaga Toraja tetap eksis hingga akhir zaman.

“Terima kasih, Sang Pahlawan kami, Komandan Frans Karangan. Jiwa dan ragamu telah engkau persembahkan untuk Ibu Pertiwi, khususnya untuk Toraja yang engkau cintai hingga akhir hayatmu. Bahagialah di sisi Sang Pencipta,” tutup Yulianus.