Oleh : *Muhammad Rafii*
Gelombang isu yang menerpa Universitas Negeri Makassar kembali memperlihatkan betapa cepatnya publik terseret oleh keramaian digital dibanding oleh ketelitian dalam membaca fakta. Tuduhan yang beredar begitu bising, tetapi substansi yang dikemukakan ternyata keropos. Sampai hari ini, tidak ada satu pun bukti video sebagaimana yang terus dipropagandakan. Yang disebut-sebut sebagai “pelanggaran berat” ternyata hanya berdasar pada percakapan digital tanpa sentuhan, tanpa pertemuan, tanpa tindakan fisik apa pun.
Di dalam dunia etik, bukti bukan sekadar pelengkap; bukti adalah fondasi. Ketika “barang bukti” yang katanya krusial tidak pernah diperlihatkan kepada pihak terlapor, publik wajar mempertanyakan arah dan motif proses ini. Kampus yang seharusnya menjadi benteng rasionalitas justru berisiko terseret dalam pusaran persepsi yang dibentuk oleh potongan informasi.
Media sosial menambah riuh situasi. Pihak yang mengaku sebagai korban tampil sangat aktif, bahkan agresif, membangun narasi di ruang digital. Publik tentu berhak membaca gestur tersebut secara kritis: apakah perilaku demikian konsisten dengan klaim sebagai korban, atau justru menunjukkan bahwa opini sedang dikonstruksi dan dibesarkan?
Tetapi lebih dari siapa berbicara apa, ada prinsip penting yang harus dipegang hukum.
Hukum adalah mekanisme untuk memilah fakta dari prasangka. Di saat penegakan hukum terasa tidak tegak atau penuh kontradiksi, tekanan moral dari mahasiswa dan masyarakat adalah kebutuhan. Namun tekanan itu bukan untuk menghakimi, melainkan memastikan proses berjalan jernih, terukur, dan tidak dibajak oleh sensasi.
Mahasiswa, sebagai pewaris tradisi intelektual kampus, harus tetap menjadi penjaga akal sehat publik. Kritik boleh lantang, tetapi landasan faktual harus kuat. Demonstrasi adalah hak, tetapi arah gerakannya harus dikawal oleh data, bukan oleh rumor yang berseliweran di linimasa. Kampus tidak boleh dikendalikan oleh drama digital yang lebih sibuk menciptakan kegaduhan dibanding mencari kebenaran.
Kasus ini pada akhirnya memberi satu pelajaran penting: ketika fakta tidak hadir, kewajiban kita adalah menjaga pikiran tetap jernih. Isu boleh bergulung-gulung, tetapi nalar publik tidak boleh tenggelam oleh kebisingan. Kampus hanya bisa berdiri tegak jika warga akademiknya memilih berdiri di pihak bukti, bukan di pihak viralitas.
Kebenaran tidak lahir dari keramaian. Kebenaran lahir dari keberanian berpihak pada fakta. Dan sampai hari ini, fakta yang seharusnya menjadi dasar, justru tidak pernah ditunjukkan.
*AnakBangsa* 🇮🇩












