Seorang Petani Miskin Dijadikan Tersangka Tunggal Kasus Coklat, Kuasa Hukum Pertanyakan Asas Keadilan

LANSKAP SULAWESI.COM – MAMUJU – Seorang petani buta huruf asal Tana Toraja, Simon Somba alias Bapak Rendi, yang bekerja sebagai penggarap kebun coklat dengan sistem bagi hasil, dilaporkan oleh salah satu anggota DPRD Kabupaten Mamuju Tengah, Umar H. (fraksi Partai PKB), atas dugaan pencurian buah coklat. Anehnya, pihak Kepolisian Polres Mamuju Tengah menetapkan Simon sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini, yang kini telah memasuki tahap dakwaan di Pengadilan Negeri Mamuju Kelas 1A setelah berkas perkaranya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Mamuju. Padahal, menurut pengacara terdakwa, Hardianto Masarrang, S.H., pemetikan buah coklat di kebun tersebut dilakukan oleh banyak orang. Senin, 11 November 2024.

Hardianto Masarrang, S. H., selaku penasihat hukum Simon Somba, menilai kasus ini terkesan dipaksakan dan mempertanyakan adanya keberpihakan dari penyidik dan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Ia juga menyatakan adanya disparitas dalam penanganan perkara ini, karena Simon, seorang petani sederhana dan buta huruf, harus berhadapan dengan anggota DPRD.

Hardianto menilai bahwa kasus ini memperlihatkan ketidakadilan dalam penerapan hukum, terutama karena kliennya, yang hanya seorang petani buta huruf, harus menghadapi tuntutan pidana yang dipaksakan oleh seorang anggota DPRD. Hardianto menyoroti adanya kesan keberpihakan dalam proses hukum yang diterapkan oleh penyidik dan JPU, serta mempertanyakan apakah asas equality before the law benar-benar ditegakkan dalam kasus ini.

“Klien kami hanya seorang petani yang bekerja keras sebagai penggarap kebun coklat berdasarkan kesepakatan bagi hasil, dan tindakan memetik buah dilakukan sesuai dengan kesepakatan yang ditawarkan pihak pelapor sendiri. Namun, dalam perjalanannya, klien kami malah dilaporkan dan ditetapkan sebagai tersangka tunggal dalam kasus ini. Kami melihat adanya diskriminasi dalam penerapan hukum, terutama karena pihak pelapor adalah seorang pejabat daerah. Ujar Herianto dalam keterangannya.

Menurut Hardianto, jika pihak penyidik dan JPU menganggap kasus ini sebagai pidana murni, maka asas equality before the law seharusnya ditegakkan. Selain Pasal 362 KUHP, seharusnya juga diterapkan Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP terkait dengan pihak yang turut serta atau membantu dalam tindak pidana.

1.Pasal 362 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) tentang Pencurian: Pasal ini mengatur bahwa barang siapa mengambil barang milik orang lain secara melawan hukum, dapat dipidana karena pencurian. Pasal ini digunakan sebagai dasar dalam menjerat Simon Somba sebagai tersangka dalam kasus ini.

2. Pasal (55 dan Pasal 56 KUHP) : Pasal 55 KUHP menjelaskan tentang turut serta dalam tindak pidana, yang berarti bahwa seseorang yang berperan dalam membantu atau memfasilitasi tindak pidana dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana.
Pasal 56 KUHP, mengatur tentang pembantuan tindak pidana, yang berarti seseorang yang secara langsung atau tidak langsung membantu pelaku dalam pelaksanaan tindak pidana juga dapat dikenakan sanksi hukum.

3. Asas Equality Before the Law, prinsip ini tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” Asas ini menekankan bahwa setiap orang, tanpa memandang status atau kedudukan, harus diperlakukan setara di hadapan hukum.

Hardianto berpendapat bahwa jika penyidik menganggap ada tindak pidana dalam pemetikan buah coklat, seharusnya Pasal 55 dan 56 KUHP diterapkan, karena ada pihak lain yang turut serta atau memfasilitasi perjanjian bagi hasil, sehingga kliennya tidak ditetapkan sebagai satu-satunya tersangka.

“Jika memang kasus ini dianggap sebagai tindak pidana, maka seharusnya pihak-pihak lain yang terlibat juga diperiksa sesuai dengan ketentuan yang ada. Kami memohon agar asas keadilan ditegakkan, dan majelis hakim bertindak dengan bijaksana serta memutuskan perkara ini dengan seadil-adilnya”, Tegas Herianto

Kronologi Kasus:
1. Pada April 2023, seorang pria bernama Sissik sebagai pemilik kebun coklat membuat kesepakatan bagi hasil dengan Simon Somba sebagai penggarap tanpa batas waktu. Namun, setelah sekitar dua bulan, Sissik menawarkan untuk menggadaikan kebun tersebut senilai Rp15 juta kepada Simon, tetapi karena Simon tidak memiliki dana, ia meminjam kepada seorang pedagang coklat bernama Bapak Ile.
2. Bapak Ile kemudian menyarankan untuk menggadaikan kebun itu langsung kepada Sissik dengan perjanjian bahwa Simon tetap menjadi penggarap dan pembagian hasil diserahkan kepada Bapak Ile dengan durasi tiga tahun.
3. Namun, setelah berjalan sekitar sembilan minggu, Sissik menjual kebun tersebut tanpa pemberitahuan kepada Simon kepada Umar H. seharga Rp125 juta. Simon baru mengetahui hal ini setelah Umar H. datang ke rumahnya dan memberitahu bahwa ia sekarang adalah pemilik kebun tersebut.
4. Umar H. lalu menawarkan Simon untuk membeli kebun itu seharga Rp400 juta, namun Simon hanya sanggup menawarkan Rp125 juta. Umar H. menolak dan mengatakan akan menjual kepada orang lain. Simon mengingatkan tentang jerih payah yang telah ia keluarkan selama ini.
5. Umar H. kemudian memberikan kesempatan kepada Simon untuk melakukan dua kali panen sebagai ganti tenaga tanpa bagi hasil.
6. Setelah sekitar tiga minggu, Simon melakukan panen pertama pasca kesepakatan dua kali panen sebagai kompensasi tenaga.
7. Tiga minggu kemudian, Umar H. mengirim orang lain untuk memanen di kebun tersebut tanpa sepengetahuan Simon.
8. Simon melakukan panen kedua dengan bantuan sepuluh orang, sesuai kesepakatan.
9. Setelah panen kedua, Simon berhenti menggarap kebun tersebut.
10. Pada tanggal 3 Juni 2024, Simon dilaporkan ke Polres Mamuju Tengah atas dugaan pencurian buah coklat berdasarkan Laporan Polisi No. LP/B/59/VI/2024/SPKT/Polres Mamuju Tengah/Polda Sulawesi Barat. Pada tanggal 25 Juli 2024, ia ditangkap berdasarkan surat perintah penangkapan No. Sp. Kap/40/VII/2024/Reskrim.

Saat ini, Simon masih ditahan di Rutan Kelas IIB Mamuju dan kasusnya telah memasuki tahap persidangan. Pada Selasa, 18 November 2024, dijadwalkan sidang pembacaan putusan sela atas eksepsi yang diajukan penasihat hukumnya.

Hardianto Masarrang, S.H., sebagai penasihat hukum terdakwa, berharap masyarakat mendukung dan berdoa agar Majelis Hakim yang menangani perkara ini bertindak adil dan bijaksana serta memberikan putusan yang seadil-adilnya sehingga kliennya dapat kembali berkumpul bersama keluarganya.