LANSKAPSULAWESI.COM – TANA TORAJA, Diskusi interaktif Seri Batch 1 I Care berhasil menyedot perhatian berbagai kalangan di Tana Toraja. Acara ini dihadiri oleh Randan Sampetoding Anggota Dewan DPRD Tana Toraja, Lukman US selaku Penggiat Pariwisata dan Batik Toraja, Sarjana sebagai Kepala Unit Produksi Kopi Ekspor Mitra Starbucks di Getengan – Tana Toraja, serta Sumartoyo sebagai Manajer Sekolah Pemimpin dari Visi Indonesia yang juga bertindak sebagai moderator, dan Saparuddin Santa, penggagas I Care turut hadir mewarnai jalannya diskusi.
Acara yang berlangsung di Kafe Payung pada Minggu, 28 September 2025, ini dihadari para insan pemuda dari Ketua GMKI Nopen Kessu, Ketua Sapma Theofilus Patuterung, Wakil Ketua KNPI Jurgen Sampealang, Ketua BPOS PP Ilvandy Prasetyo, Ketua Srikandi PP Ivo Lestriani Pratiwi Payung, Pengurus GMNI Ridwan dan Musram, perwakilan GAMKI, BEM IAKN, serta Tokoh Perempuan Sanny Tonapa.
Randan Sampetoding menekankan pentingnya kolaborasi antar-stakeholder untuk mengembalikan kejayaan pariwisata dan kopi Toraja. Ia menyatakan bahwa masyarakat harus mendukung program pemerintah dengan kemauan saling mendukung, sementara kepala daerah diharapkan lebih kreatif dan inovatif. Pajak untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) jangan sampai membebani masyarakat, agar akselerasi pembangunan tetap terjaga. Dengan tekad dan komitmen kuat, Randan yakin kultur dan sumber daya alam Toraja yang melimpah bisa dikembangkan lebih lanjut. Alam Toraja menyediakan potensi besar untuk budidaya kopi dan pariwisata, meskipun kekuatan APBD terbatas untuk membangun destinasi baru, sehingga lebih baik memaksimalkan destinasi yang sudah ada dengan pengelolaan optimal.
Lukman US berbagi pengalaman pribadinya yang pernah frontal menentang pengelolaan pariwisata Toraja yang salah urus, karena fakta lapangan tidak sejalan dengan regulasi. Ia menyarankan pembangunan benang merah pariwisata antar-tiga kabupaten melalui duduk bersama dan mulai dari bawah. Menurutnya, pariwisata harus dibangun dari tingkat mikro, dengan bonus alam dan kopi yang melimpah, meskipun pengelolaannya belum maksimal dan kurang tepat. Contohnya, erong di Sangalla yang tidak terurus, serta destinasi yang mulai terkontaminasi oleh pasar seni. Lukman menegaskan bahwa destinasi wisata harus terpisah dari pasar seni, dan pembahasan pariwisata jangan langsung ke level makro tanpa fondasi yang kuat.
Sarjana, sang ahli di bidang kopi, juga ikut menjelaskan bahwa kopi Toraja telah terkenal sejak puluhan tahun lalu, dengan produksi luar biasa pada 1997-2010. Namun, dari 2011-2020, produksi mulai bangkit dengan puncak tertinggi pada 2016, sebelum pandemi membuatnya menurun drastis. Penyebabnya beragam, termasuk perubahan lahan kopi menjadi hortikultura akibat pembangunan jalan. Sarjana mempertanyakan apakah Toraja sedang mengejar duit atau nama dalam membangkitkan kopi, dan menyarankan mulai dari diri sendiri untuk menentukan arah, seperti genjot produksi atau tidak. Dari pengalamannya, ia pernah mengirim kopi ke Starbucks sejak 1997, dengan permintaan tinggi dari luar negeri, tapi kendala utama adalah keterbatasan stok. Tahun ini hingga Agustus 2025, hanya 12 ton kopi yang bisa diekspor, jauh dari 100 ton pada 2015. Kopi Toraja sangat menjanjikan, tapi petani kurang berani maju. Pembeli awal seperti Royal dan Bannet pada 1997, diikuti Jepang pada 2003. Perusahaannya juga telah membagikan 100 ribu bibit kopi pada 2019, 76 ribu pada 2023, serta puluhan ribu bibit vanila dan merica dari 2021-2024.
Diskusi berjalan alot dan menguat pada sesi tanya jawab. Randan Sampetoding menanggapi pertanyaan dari para Ketua OKP dengan menegaskan bahwa masukan, ide, saran, maupun unek-unek pemuda dapat disampaikan ke pemerintah daerah, dengan DPRD siap mendukung hasil diskusi forum ini. Ia menyebut persoalan budidaya kopi cukup kompleks, seperti menyempitnya lahan perkebunan rakyat akibat masuknya kawasan kehutanan, sebagaimana diungkapkan Theofilus, sehingga perlu menggali akar masalah secara mendalam. Randan mencontohkan upaya pelepasan kawasan kehutanan di Gandasil yang didanai APBN dan APBD, serta mendorong bantuan untuk mengeluarkan batas-batas kawasan hutan agar lahan dapat dikelola masyarakat, di samping mempertimbangkan mobilitas perumahan. Ia berharap pesan ini tersampaikan ke pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan agraria klasik yang menghambat petani kecil, seperti konflik pengelolaan lahan akibat izin penyadapan getah pinus oleh pengusaha dari pemerintah pusat. Terkait pariwisata, ia menyebut tantangannya kompleks, di mana tradisi tanpa kopi Toraja terasa kurang lengkap, namun pergeseran nilai akibat teknologi yang instan mulai mengikis kearifan lokal. Untuk mendukung pelestarian budaya, Randan berkomitmen memfasilitasi Perda masyarakat adat hingga masuk dalam program legislasi daerah (prolegda).
Diskusi juga menghasilkan poin-poin pernyataan sikap pemuda sebagai isu terkait pariwisata dan kopi untuk dibawa ke pemerintah daerah. Di antaranya, penurunan produksi kopi dalam 5 tahun terakhir akibat dominasi kawasan hutan lindung, hama luwak yang merusak biji kopi, dan proses produksi yang memakan waktu 2-3 tahun kurang diminati. Selain itu, persoalan agraria seperti lahan pertanian yang tiba-tiba ditetapkan sebagai hutan lindung menghambat aktivitas petani. Kepemilikan lahan dan mindset petani juga menjadi sorotan, karena banyak lahan potensial dikelola oleh orang tua tanpa keterlibatan anak muda, sehingga diperlukan perubahan mindset dan komitmen masyarakat.
Isu lain mencakup identitas kopi Toraja yang perlu diklarifikasi, meskipun semua bibit tersedia di Toraja Barat. Akses pasar dan distribusi terhambat oleh aksesibilitas buruk, sementara subsidi pupuk masih mahal dengan lokasi penjemputan jauh di Rembon, ditambah praktik politisasi atau mafia distribusi. Minimnya pelatihan untuk petani kopi yang sering bersifat formalitas menjadi keluhan, sehingga dibutuhkan pelatihan berkelanjutan termasuk barista dan pengemasan untuk tingkatkan nilai jual. Regulasi tumpang tindih antara Kementerian Pertanian dan Kehutanan, serta konflik dengan industri pertambangan, juga menghambat perkembangan.
Pernyataan sikap pemuda menyoroti destinasi pariwisata yang tidak terawat seperti Talondo Tallu dan Sarambu Assing, yang hanya dijadikan tempat selfie. Ketiadaan akomodasi di Toraja Barat membuatnya hanya sebagai lintasan wisatawan, sementara preferensi wisatawan lebih ke alam dan budaya daripada modern. Inkonsistensi tokoh adat dalam isu sosial perlu diatasi, dengan promosi adat istiadat untuk tingkatkan PAD, seperti stand penjualan sarung atau pasapu’ sebagai syarat masuk acara rambu solo’. Pelestarian budaya melalui museum erong dan Perda masyarakat adat juga diusulkan untuk mendukung pariwisata dan pertanian berkelanjutan.
Sumartoyo, sebagai Manajer Sekolah Pemimpin, menyatakan bahwa diskusi ini bukan akhir, melainkan awal dari seri lanjutan. Ia menjanjikan eksekusi aksi terkait pariwisata dan pengembangan kopi dalam waktu dekat. Saparuddin Santa menambahkan bahwa I Care dengan slogan “Saya Peduli Maka Saya Berbuat” memiliki modul terarah yang didukung riset berkelanjutan selama program berjalan.