Berita  

Paus Leo XIV: Misionaris Matematikawan di Tengah Revolusi Industri Baru

Penulis Yulianus L.

Oplus_16777216

LANSKAPSULAWESI.COM – Kardinal Robert Francis Prevost, lahir di Chicago, memiliki latar belakang yang unik sebagai seorang matematikawan yang terpanggil menjadi misionaris. Ia menghabiskan waktu yang lama sebagai misionaris di Peru, sebuah negara di Amerika Latin yang menghadapi tantangan kemiskinan.

Prevost, yang berasal dari ordo Agustinus dan merupakan almamater yang sama dengan Martin Luther, tidak pernah disebut-sebut oleh media internasional sebagai kandidat kuat dalam Konklaf yang diikuti 133 kardinal elektor. Namun, kehendak Roh Kudus menentukan lain, dan pilihan jatuh pada Kardinal Prevost, yang relatif masih junior di antara para kardinal elektor.

Paus Leo XIV, nama yang diambil oleh Kardinal Prevost, membawa semboyan kepausan “Di dalam Kristus yang Satu, Kita Menjadi Satu,” yang mirip dengan semboyan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI).

Pemilihan nama Paus Leo XIV menjadi pertanda bahwa ia ingin memimpin Gereja di tengah dunia yang penuh tantangan dan keterpecahan. Nama ini mengingatkan pada Paus Leo XIII, yang pada masanya menghadapi Revolusi Industri pertama. Saat itu, mesin produksi mulai menggusur tenaga manusia, dan hak-hak buruh dieksploitasi.

Paus Leo XIII mengeluarkan ensiklik Rerum Novarum, yang menjadi fondasi ajaran sosial Gereja, menekankan keadilan sosial, pembelaan terhadap kaum lemah, dan penghormatan terhadap hak-hak buruh. Ensiklik ini menjadi cikal bakal gerakan serikat buruh di Eropa.

Saat ini, dunia berada dalam situasi cemas akibat keterpecahan sosial dan dampak Revolusi Industri jilid II, di mana teknologi kecerdasan buatan (AI) dan algoritma mulai mengambil alih pekerjaan manusia. Kelompok masyarakat akar rumput semakin terpinggirkan, sementara kemakmuran dan kekuasaan terkonsentrasi di tangan segelintir orang.

Paus Leo XIV tampaknya akan memfokuskan perhatiannya pada isu-isu ini. Ia memimpin Gereja yang berjalan bersama, mencari perdamaian, menemukan titik temu, serta merangkul mereka yang menderita melalui perjumpaan dan dialog.

Paus Leo XIV dapat dilihat sebagai “Paus Fransiskus yang baru” dengan gaya dan pendekatan yang berbeda. Dengan visinya yang inklusif dan terbuka, ia berupaya membawa Gereja menjadi relevan di tengah dunia yang terus berubah, menawarkan harapan dan keadilan bagi mereka yang terpinggirkan.