Tantangan Inflasi dan Resesi Tahun Depan, KNPI Harap Pemerintah Beri Pendampingan Literasi Finansial Bagi Masyarakat Ekonomi Lemah

LANSKAPSULAWESI.COM – MAKASSAR, Ketua KNPI Tana Toraja Bidang Riset dan Pengembangan SDM, Sumartoyo mengatakan bahwa inflasi global akan terus mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan inflasi berkisar antara 2 – 6 persen di Q3 dan Q4 tahun 2024. Kondisi ini ikut diperparah dengan suku bunga bank yang tinggi, mahalnya bahan baku, menghambat perputaran pasar modal, hingga tertutupnya ruang-ruang pekerjaan yang terafiliasi dari turunnya neraca keuangan perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor produksi dan jasa.

Hal itu diungkapkan oleh Sumartoyo setelah KNPI melakukan beberapa kajian terhadap pelemahan rupiah akhir-akhir ini. “Per 18 Juni 2024, kurs rupiah di pasar spot sudah berada di angka 16.451 rupiah per dollar AS. Pemerintah tidak boleh menghibur masyarakat bahwa pelemahan rupiah terhadap dollar AS masih dikatakan stabil,” tegas Sumartoyo. “Pelemahan rupiah ini justru akan berimbas pada ekonomi masyarakat menengah dan bawah, serta pada sektor industri yang bahan bakunya masih mengandalkan impor. Bahan baku yang mahal akan memaksa produsen menaikkan biaya produksi dan harga barang. Tentu ini berdampak pada daya beli masyarakat dan risiko PHK di berbagai sektor padat karya akhir-akhir ini yang wujudnya saling tarik-menarik,” tambahnya.

Bank Indonesia pada bulan Juli 2024 berencana akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin sehingga menjadi 6,75%. Tujuan mulia BI ini adalah untuk mengendalikan kenaikan dollar terhadap rupiah. “Kita apresiasi kebijakan BI ini, tetapi pengaruhnya sudah jelas akan berpengaruh pada suku bunga di seluruh sistem keuangan, termasuk suku bunga pinjaman, tabungan, dan instrumen keuangan lainnya. Bagi masyarakat yang memiliki pinjaman di bank seperti kredit kepemilikan rumah, kendaraan, dan yang lainnya akan mengalami kesulitan membayar pinjaman mereka. Bukankah ini juga akan berdampak secara bergurita pada sektor lainnya?” pungkasnya.

Menanggapi situasi ekonomi yang tidak stabil akhir-akhir ini, Sumartoyo berharap pemerintah pusat dan daerah perlu menetapkan langkah-langkah strategis guna menghadapi kenaikan inflasi maupun ancaman resesi yang indikatornya bertitik tolak dari perang yang masih berlanjut dan meluas, krisis iklim dan peringatan PBB terhadap kelangkaan pangan di 2025, perkiraan pergeseran investasi akibat sentimen pasar saham yang dipolitisasi AS dan Israel melalui lembaga keuangan inklusif mereka, serta situasi makroekonomi dalam negeri yang bergejolak akibat pengaturan atau regulasi yang seolah-olah diputuskan terburu-buru dan kurang pertimbangan dan ditambah situasi geopolitik yang belum stabil ujung-ujungnya hanya akan mencederai masyarakat.

Ia menilai pemerintah perlu melakukan pendampingan literasi finansial bagi masyarakat yang ekonominya terdepresiasi. “Hal ini dilakukan agar masyarakat mampu mengelola keuangan mereka secara maksimal dengan memanfaatkan berbagai potensi usaha baru atau yang sudah ada, memperkenalkan platform pengelolaan dana di luar perbankan seperti crowfunding, cryptofunding, obligasi, reksadana, pemanfaatan pasar modal, hingga pada pengenalan platform investasi yang aman, terukur risikonya, dan tentunya mengikuti regulasi lembaga pemerintah yang menaungi,” jelasnya.

Sumartoyo juga mengutip studi terbaru dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang menunjukkan bahwa literasi finansial yang rendah berkorelasi dengan perilaku keuangan yang tidak tepat, seperti penganggaran yang buruk, kurangnya tabungan, dan akumulasi utang berlebihan. “Dengan meningkatkan literasi finansial, masyarakat dapat membuat keputusan keuangan yang lebih baik dan bijak,” tambahnya.

Salah satu langkah yang bisa diambil oleh pemerintah pusat dan daerah menurut Sumartoyo adalah melalui edukasi dan pelatihan literasi finansial secara berkala, baik di tingkat sekolah, komunitas, maupun tempat kerja. “Materi yang diberikan dapat mencakup perencanaan keuangan, penganggaran, menabung, berinvestasi, dan mengelola utang. Keterlibatan lembaga keuangan dan pemerintah dalam program-program ini juga sangat penting untuk memastikan informasi yang diberikan kepada masyarakat akurat dan terpercaya,” terangnya.

Selain itu, Sumartoyo menyatakan bahwa pemanfaatan teknologi digital dapat membantu meningkatkan literasi finansial secara masif. “Aplikasi keuangan yang user-friendly, sumber daya online, dan platform edukasi dapat menjangkau lebih banyak orang, terutama generasi milenial dan zilenial yang mudah akrab dengan teknologi. Kolaborasi antara pemerintah, lembaga keuangan, dan perusahaan teknologi dapat menciptakan ekosistem yang kondusif untuk penyebaran literasi finansial secara efektif,” katanya.

Terakhir, Sumartoyo menegaskan bahwa tingkat literasi finansial yang memadai dapat membantu masyarakat menghadapi tantangan ekonomi seperti inflasi, suku bunga tinggi, serta tantangan resesi di masa depan. “Dengan pengetahuan dan keterampilan yang tepat, masyarakat dapat mengoptimalkan sumber daya keuangan mereka, mengelola risiko dengan lebih baik, dan mencapai kesejahteraan finansial yang lebih besar. Upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta, sangat diperlukan untuk mencapai tujuan ini”.

Penulis: Marselinus HeraEditor: Hajar Aswad